Sumber daya alam merupakan karunia
dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia
sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam
wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna,
berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumberdaya
alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu
pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara
bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.
Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus
berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented)
untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan
menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.
Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana
uraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyak kerusakan atas
SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan
hidup) yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan
atas sumber Daya Alam tersebut.
Oleh karenanya dengan melihat kondisi di atas Hukum Sumber Daya Alam
sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, di mana hal ini
sebagai mata kuliah baru di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Widya Gama,
yang pada dasarnya merupakan materi kuliah yang mempelajari persoalan-persoalan
hukum yang berkaitan dengan atau tentang sumber daya alam adalah menjadi hal
yang penting untuk dipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan
hukum yang muncul dan melingkupi sumber daya alam di Indonesia.
Istilah dan Pengertian
Istilah Sumber Daya Alam sendiri
secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan
Hurup H Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan:
“Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan
undang-undang”. Demikian juga pada ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, khususnya
Pasal 6 yang menyatakan: “Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama
Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut,mengubah
dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak
sejalan dengan dengan Ketetapan ini.”
Sedang pengertian Sumber Daya Alam (SDA) sendiri secara yuridis cukup sulit
ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian SDA ini dari RUU Pengelolaan
SDA yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut: “Sumber daya alam
adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup, yang
merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan
maupun tidak terbarukan”
Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam
sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita
dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan
secara bebas) adalah di Undang-undang Nomor 35 Tahun 2000 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001 Rencana Pembangunan Tahunan
(REPETA) Tahun 2001, khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber daya Alam dan
Lingkungan Hidup Butir VIII.2.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan
Hukum Pengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang
menyatakan: “Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 adalah: (1)…………….;
(2)…………… ; (3) Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkat
peraturannya; (4) ………… dan seterusnya”. Namun demikian penjelasan dan
pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35/2000 tersebut
juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.
Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari Sundari
Rangkuti, yang menyatakan:
“Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana
pemenuhan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentingan lingkungan yang
bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan:
§
Hukum
Bencana (Ramperenrecht);
§
Hukum
Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);
§
Hukum
tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke rijkdommen) atau Hukum
Konservasi (Natural Resources Law);
§
Hukum tentang Pembagian Pemakaian
Ruang (Recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata
Ruang;
§
Hukum
Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht)”
Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum SDA merupakan bagian dari
Hukum Lingkungan, menurut Rangkuti Hukum Lingkungan menyangkut penetapan
nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan
nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut
“hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”. Dengan demikian Hukum
Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia
dengan mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.
Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan SDA maka Hukum
Sumber Daya Alam adalah Hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang
mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya dalam
hal soal SDA, yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.
B.
Kebijakan sumber daya alam struktur
penguasaan sumber daya alam
Keputusan politik
berupa TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 yang menggariskan urgensi pembaruan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam sebenarnya bukanlah kemajuan baru, meskipun
secara substansial rumusan yang tertuang sangat signifikan. TAP MPR No.
IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, sebagai produk Sidang Umum MPR RI Tahun
1999, telah mencatat perubahan yang mendasar dalam merumuskan pijakan
pembangunan nasional. GBHN 1999-2004 telah menuangkan Bidang Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Hidup (lihat Tabel 1). Namun, sejak GBHN tersebut
dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional, belum terdapat kebijakan yang
secara signifikan mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Apakah dengan begitu, TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 akan mengalami nasib yang
sama?
Tabel 1: Arah Kebijakan PSDA di GBHN 1999 –
2004 dan TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001
Arah Kebijakan
Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 –
2004
|
Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber
daya alam dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam :
|
1. Mengelola
sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
|
1.
Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
Pasal 5 Ketetapan ini.
|
2. Meningkatkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi,
rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah
lingkungan.
|
2.
Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam
sebagai potensi dalam pembangunan nasional.
|
3. Menerapkan
indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan
dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah
kerusakan yang tidak dapat balik.
|
3.
Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial
untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
|
4. Mendelegasikan
secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan
lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur
dengan undang-undang
|
4.
Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam
dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya
alam tersebut.
|
5. Menyalahgunakan
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan
yang berkelanjutan,kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta
penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang - undang.
|
5.
Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama
ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
|
|
6. Menyusun
strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi
manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
|
Penyatuan Tema Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Terdapat penyatuan dua tema; yakni “pembaruan agraria” dan
“pengelolaan SDA”, yang dibingkai dalam TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001. Hal ini
mendapat respon positif dari berbagai pihak khususnya yang memiliki gagasan
agar pengelolaan sumber daya alam dan agraria dilakukan secara holistik,
meskipun ada yang meragukan penyatuan tersebut akan dilakukan setengah hati dimana
tidak ada integrasi konseptual yang memadai diantara dua tema tersebut. Respon
positif diberikan dengan alasan (a) salah satu sebab terjadinya ‘pemisahan’ ini
justru bersumber dari watak sektoralisme hukum dan departemenisme kekuasaan
negara atas tanah dan SDA. Hal tersebut telah menyesatkan publik mengenai kata
“agraria” itu menjadi urusan administrasi pertanahan dan menempatkan persoalan
pengelolaan SDA pada “ruang lain”, (b) disamping itu, tidak hanya karena secara
substansial keduanya mempunyai kesamaan, juga untuk meletakkan landasan
pembaruan penyelesaian masalah secara fundamental dalam bidang agraria dan
pengelolaan SDA baik dalam penguasaan maupun pengelolaan, dan (c) untuk
memberikan acuan komprehensif dari berbagai sektor yang berkaitan dengan agraria
dan pengelolaan SDA dalam melakukan pembaruan seperti masalah sistem penguasaan
yang didalamnya termasuk pemilikan, sewa-menyewa, bagi hasil dan sistem
pengelolaan yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, perlindungan, konservasi,
dan pemantauan. Aspek pembaruan yang mencakup keseluruhan kawasan hutan,
pertanian, perkebunan, pesisir laut, pertambangan, dll. C:\Budi Cahyono\Majalah
PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 3 Secara substansial, dalam
pandangan Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah organisasi non pemerintah yang
aktif dalam inisiasi TAP MPR tersebut, bahwa istilah “agraria” dengan
“pengelolaan SDA” sebenarnya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya
bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan, dan
keberlanjutan. Dalam prakteknya, penekanan istilah agraria memang seringkali
lebih menukik pada penguasaan dan pemanfaatan tanah atau tanah yang menjadi
wadah dari keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA adalah
pola pemanfaatan SDA yang terkandung (terwadahi) dalam tanah tersebut. Dengan
demikian, tidaklah mungkin melakukan pembaruan pengelolaan SDA untuk mencapai
kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan apabila pembaruan agraria tidak
dilakukan. 2. Perubahan Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam
pengelolaan SDA selama ini, dinilai telah terjadi kesalahan dalam meletakkan
paradigma pembangunan. Pengelolaan SDA seharusnya memberi manfaat bagi
masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD
Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, secara
berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan SDA lebih
menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi SDA sebagai sumber devisa namun
tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan. Titik berat ini
telah menimbulkan dampak (a) tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan (b)
kerusakan SDA dan lingkungan hidup makin parah. Secara kritis dapat dijelaskan
bahwa konsepsi pengelolaan SDA meletakkan pada paradigma yang berbasis negara.
Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk
menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Hal ini dicirikan dengan
bentuk institusi dan kebijakannya yang sentralistik, pendekatan atas-bawah,
orientasi target ekonomi, perencanaan makro dan penganggaran ketat. Kondisi ini
rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mandapat keuntungan
atas pengelolaan SDA ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas.
Selanjutnya, jika kembali ke mandat pasal 33 ayat (3), maka pertanyaan yang
harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara
primer dengan pengelolaan SDA. Masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling
punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya,
yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan
tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan
lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional. Kerusakan
SDA bukan karena ketidaktahuan masyarakat setempat, melainkan karena kebijakan
dan keputusan pengelolaan SDA lebih banyak dibicarakan dan ditetapkan di luar
lingkungan masyarakat setempat. Masalah utama yang tinggal di sekitar dan di
dalam kawasan hutan, adalah mereka menghuni hutan yang merupakan sumber daya
yang sangat diinginkan oleh kelompok yang lebih berkuasa dibandingkan mereka.
Pada titik inilah, perubahan paradigma pengelolaan SDA sangat signifikan
dilakukan sebagai penterjemahan pasal 33 ayat (3). 3. Reformasi Kebijakan dan
Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Meskipun telah diluncurkan TAP MPR
yang mengatur pengelolaan SDA, namun implementasi dari TAP MPR tersebut dalam
kerangka kebijakan yang implementatif akan sangat tergantung pada ada tidaknya
kemauan politik pemerintah. Apalagi jika TAP MPR tersebut, sekedar sebagai
“instrumen politik” untuk memuaskan publik dan mengkesampingkan penataan hukum
(kebijakan) dan kelembagaan dalam pengelolaan SDA. Kesungguhan pemerintah dan
politisi yang mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan sangat diharapkan
oleh publik dalam penataan keagrariaan dan pengelolaan SDA dengan melakukan
perubahan yang signifikan berbagai ketentuan perundangan sektoral yang selama
ini memberi legitimasi bagi eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam.
Meskipun, implikasi dari pembaruan tersebut justru akan membatasi kekuasaan
pihak tersebut dalam pengelolaan SDA yang selama ini dapat memberi pemasukan
bagi biaya-biaya politik. Serta, akan semakin C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th
2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 4 memperluas partisipasi publik
dalam perumusan dan pelaksanaan pembaruan keagrariaan dan pengelolaan SDA.
Demikian halnya dengan penataan sistem pengendalian lingkungan hidup, jika akan
berakibat memojokkan berbagai kalangan industri, termasuk perusahaan
multinasional, yang selama ini banyak menggunakan teknologi negara industri
maupun sebagai pemasok kebutuhan bahan baku atau konsumsi masyarakat
negara-negara industri maju. Komitmen politik pemerintah dan politisi akan
mendapatkan ujian dan penilaian dari publik pada permasalahan ini. Menurut
Kelompok Kerja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan PSDA ada beberapa agenda
penting yang harus dilaksanakan oleh MPR agar ketetapan yang dilahirkan
tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat antara lain : a. adanya
penyelesaian konflik dalam masyarakat melalui inventarisasi konflik sumber daya
alam yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang, pembentukan sebuah badan
nasional yang bertugas khusus memfasilitasi proses penyelesaian konflik, serta
pembentukan badan pengadilan ad hoc yang menerima dan melanjutkan kerja badan
nasional dengan mengeluarkan putusan-putusan berkekuatan hukum agar pihak yang
bersengketa mematuhinya; b.adanya penataan struktur penguasaan sumber daya
agraria dan sumber daya alam, pemulihan ekosistem yang telah rusak, pembaruan
peraturan perundang-undangan dengan meninjau ulang peraturan perundang-undangan
sektoral dan daerah yang berkaitan dengan sumber daya agraria/sumber daya alam,
membangun kembali payung perundangan sebagai pegangan semua peraturan sektoral
dan daerah; c.mengupayakan tercapaianya integrasi dan sinkronisasi kebijakan
antar sektor, serta mengusahakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan pembaharuan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam melalui perencanaan anggaran negara.
Bagi kalangan yang menghendaki amandemen Pasal 33 UUD 1945, akan menunggu kerja
DPR dan pemerintah dalam menterjemahkan TAP MPR dalam kebijakan yang lebih
operasional, seperti UU. Jika dua institusi tersebut lambat meresponnya, maka
dalam Sidang Tahunan MPR 2002, tuntutan terhadap amandemen pasal 33 UUD 1945
akan muncul lagi. Khususnya yang berkaitan dengan substansi hak asasi manusia
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, bagi generasi sekarang dan mendatang,
yang berarti harus terdapat undang-undang yang menjamin atas hak tersebut.
Desakan amandemen pasal 33 UUD 1945 dialamatkan untuk menambah pasal-pasal yang
dapat menterjemahkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis dalam
pengelolaan sumber daya alam. Termasuk juga substansi yang mengatur kelembagaan
dan mekanisme penyelenggaraan negara yang mendukung tuntutan perlindungan
sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan kelembagaan yang menjamin
partisipasi luas para pihak. Disamping agenda penting yang harus diselesaikan
sebagai implikasi dari TAP MPR, adalah mengkaji ulang perundangan-undangan
bidang sumber daya alam yang bersifat sektoral seperti UU pertambangan, UU
kehutanan, dan lain-lain. Berpijak atas hal ini, perlu ada payung kebijakan
pengelolaan sumber daya alam secara utuh menyeluruh dan komprehensif, sebagai
bagian dari reformasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Langkah
berikutnya, reformasi kebijakan harus diikuti dengan reformasi kelembagaan
dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini karena persoalan keberadaan
kelembagaan pengelolaan sumber daya alam akan sangat mempengaruhi efektifitas
pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan arah reformasi kebijakan itu
sendiri. Tentunya hal ini sangat berkaitan dengan reformasi atas berbagai
departemen sektoral yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen
Pertanian, Departemen Perikanan dan Kelautan. Beberapa desakan yang mengemuka
adalah perlu terdapat kaji ulang atau peninjauan kembali sentralisasi dan
sektoralisasi pengelolaan sumber C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi
27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 5 daya alam yang selama ini mengakibatkan
pengelolaan tidak terintegrasi sehingga memperparah degradasi lingkungan hidup.
4. Parameter Kebijakan PSDA bagi Pembangunan Berkelanjutan Reformasi
pengelolaan sumber daya alam sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan
berkelanjutan dapat dinilai dengan baik apabila terumuskan parameter yang memadai.
Secara implementatif, parameter yang dapat dirumuskan diantaranya: a.
Desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan
mengikuti prinsip dan pendekatan ekosistem, bukan administratif. b. Kontrol
sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi proses pengambilan
keputusan dan peran serta masyarakat . Kontrol sosial ini dapat dimaknai pula
sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai hak) rakyat. Setiap
orang secara sendiri-sendiri maupun berkelompok memiliki hak yang sama dalam
proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan serta
evaluasi pada pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup. c. Pendekatan utuh menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Pada parameter ini, pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup harus menghilangkan pendekatan sektoral, namun
berbasis ekosistem dan memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan
antara faktor-faktor pembentuk ekosistem dan antara satu ekosistem dengan
ekosistem lainnya. d. Keseimbangan antara eksploitasi dengan konservasi dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga tetap terjaga
kelestarian dan kualitasnya secara baik. e. Rasa keadilan bagi rakyat dalam
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Keadilan ini tidak semata
bagi generasi sekarang semata, tetapi juga keadilan untuk generasi mendatang
sesudah kita yang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik. Parameter di
atas, jika dapat diterapkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidupo merupakan pendorong terwujudnya penyelenggaraan
kepemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang baik (good environmental
governance); dimana sumber daya alam dikelola, diatur dan diawasi oleh
institusi-institusi negara yang diakui legitimasinya oleh rakyat, kompeten,
secara terbuka, demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Lima
parameter di atas tersebut, pernah dipakai WALHI sebagai instrumen untuk menilai
agenda program lingkungan partai politik peserta Pemilu 1999, yang ketika itu
penulis terlibat didalam penelitian tersebut. Salah satu kesimpulan yang
ditemukan dalam penelitian tersebut adalah bahwa keadilan bagi rakyat merupakan
agenda yang mendapatkan tingkat prioritas utama yang harus segera dilakukan.
Tingkat prioritas berikutnya secara berurutan adalah kontrol sosial masyarakat,
keseimbangan eksploitasi dan konservasi; utuh menyeluruh atau komprehensif dan
desentralisasi. Hasil tersebut dapat menggambarkan tahap-tahap yang perlu
mendapatkan perhatian terlebih dahulu dalam pembangunan bidang sumber daya alam
dan lingkungan hidup. Namun demikian, lima parameter tersebut tetap sama
pentingnya bagi penyelenggaraan pembangunan bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup. 5. Menggalang Komitmen Berbagai Pihak Komitmen politik dari
berbagai pihak untuk menterjemahkan TAP MPR dalam kebijakan yang lebih
operasional adalah aspek penting untuk melihat apakah TAP MPR tersebut sebatas
instrumen kebijakan pemuas bagi publik dan ibarat macan ompong. Pada bagian
depan penulis C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim
Basyar.rtf Halaman 6 telah sampaikan tentang respon yang harus segeras
dilakukan oleh pemerintah dan legislatif. Selain itu, partai politik sebagai
institusi yang juga punya kewajiban mengartikulasikan aspirasi rakyat dituntut
pula responsif. Saat yang tepat sekarang ini adalah publik menagih janji
agenda-agenda yang dulu ditawarkan menjelang pemilu 1999. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, sebagaimana penelitian WALHI, menempatkan
prioritas utama kerja dalam program peningkatan kualitas demokrasi maupun
pemulihan ekonomi Indonesia. Salah satu langkah kerja untuk mencapai tujuan
strategis ini, adalah membentuk pemerintahan yang kredibel, bersih dan
berkualitas dimana dalam menentukan personalia kabinet diantara berbagai
kriteria, PDIP menempatkan syarat dimilikinya komitmen perjuangan menegakkan
demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup sebagai kriteria utama.
Dengan demikian, indikator komitmen pada lingkungan hidup diangkat oleh PDIP
sebagai prinsip dalam menyusun personalia pemerintahan sebagai amanat
pelaksanaan program partai. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) termasuk partai
politik yang dalam agenda yang ditawarkan ke publik cukup merespon isu-isu
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. PKB dalam platformnya,
melihat bahwa komprehensifitas pengelolaan kekayaan alam dengan mempertautkan
antara upaya pemberdayaan masyarakat dengan usaha konservasi lingkungan adalah
suatu keniscayaan. Bahwa partisipasi rakyat lebih bermakna sebagai sesuatu yang
berproses menjadi upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Partai Amanat
Nasional (PAN), ketika itu, dalam agendanya memiliki keberanian untuk
mengagendakan program-program perjuangan dalam melestarikan fungsi sumber daya
alam dan lingkungan hidup dalam kerangka waktu yang ketat. Disebutkan bahwa
dalam 100 hari pertama penyelenggaraan pemerintahan, PAN akan berjuang untuk
mendorong terbentuknya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yang cukup kuat
dan disegani, melalui kewenangan yang cukup, struktur yang baik, personil yang
dapat diandalkan, budaya kerja dengan komitmen tinggi, terbuka, jujur serta
dibekali anggaran yang memadai. Masih banyak lagi agenda-agenda program bidang
lingkungan hidup yang ketika itu ditawarkan oleh partai politik ke publik
menjelang Pemilu 19999. Ketika kader-kader terbaik dari partai politik telah
menduduki jabatan strategis di lembaga legislatif dan eksekutif maka saatnya
untuk merealisasikan agenda-agenda yang dulu ditawarkan tersebut. Tanpa adanya
komitmen dari elit partai politik, maka good environmental governance tidak
akan terwujud di Indonesia. Kalangan yang selama ini kerap mendorong advokasi
reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah organisasi non
pemerintah, yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan hidup dan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Inisiasi para pihak ini, diantaranya
dapat dilihat dari sejarah dirumuskannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001, semakin
gencar dilakukan ketika Soeharto turun dan kekuatan masyarakat sipil menemukan
ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Juga dukungan dari kalangan akademisi,
baik yang langsung terlibat dalam organisasi non pemerintah maupun institusi
pendidikan (perguruan tinggi). Pihak lain yang memiliki peran signifikan dalam
eksploitasi SDA dan berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan hidup adalah
kalangan swasta (pengusaha/investor). Investasi yang mereka tanamkan untuk
eksploitasi SDA memang memberikan pemasukan devisa bagi negara, namun yang
harus diperhatikan bahwa investasi tersebut (a) harus memperhitungkan biaya
kerusakan lingkungan dan upaya rehabilitasinya, (b) memberikan rasa keadilan
bagi generasi mendatang. Ketika reformasi bergulir, semakin marak protes rakyat
dan kelompok yang memiliki kepedulian pada msalah pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup, dan oleh pemerintah dan legislatif direspon dengan baik.
Namun ternyata oleh kalangan pengusaha ditanggapi kontraproduktif. Lebih
responsifnya pemerintah dan legislatif pada masalah SDA dan lingkungan hidup
dan tuntutan dari rakyat yang menghendaki keadilan dalam pemanfaatan SDA,
dinilai pengusaha C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim
Basyar.rtf Halaman 7 (baik yang bergerak di perusahaan multinasional, maupun
nasional dan lokal) sebagai isyarat makin meningkatnya resiko investasi asing
di Indonesia, sehingga isu yang berkembang adalah pertentangan antara investasi
dengan lingkungan hidup. Banyak ditemukan konflik yang terjadi dalam pemanfaatan
kekayaan alam di Indonesia, yang meliputi beragam tipologinya seperti (a)
konflik antara pemerintah (melalui kebijakan yang dikeluarkan dan aparatnya)
dengan masyarakat, (b) konflik antara pemerintah dengan kalangan pengusaha, (c)
konflik antar kelompok masyarakat. Bahkan seiring dengan otonomi daerah,
wilayah konflik juga semakin melebar, seperti (a) konflik antar daerah dengan
daerah, (b) konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, (c)
konflik antar masyarakat pada daerah tertentu dengan masyarakat pada daerah
lain. 6. Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat Secara mendasar, kerangka
kerja kebijakan pengelolaan SDA diletakkan sebagai instrumen untuk
menterjemahkan mandat UUD 1945 pasal 33. Pada ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, bahwa
dasar demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Dengan demikian, mandat pasal
33 melarang adanya penguasaan SDA di tangan orang-seorang. Monopoli, oligopoli
maupun praktek kartel dalam pengelolaan SDA adalah bertentangan dengan prinsip
pasal 33. Tentang siapa yang disebut rakyat, tidaklah signifikan untuk
diperdebatkan seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh pihak yang secara
sinis memandang konsep perekonomian rakyat. Rakyat adalah konsepsi politik; the
common people; rakyat adalah orang banyak. Bukan orangseorang, tetapi
kepentingan publik atau kolektif secara luas. Dengan begitu, kepentingan
seorang konglomerat misalnya, orang akan paham hal tersebut sebagai kepentingan
rakyat atau bukan.
C.
Dominasi SDA di
Indonesia
Persoalan kedaulatan atas SDA ini perlu diajukan, karena
sejumlah pertimbangan mendesak. Pertama, penguasaan asing atas SDA terutama
sektor tambang, migas dan perkebunan skala besar, semakin masif. Data
menunjukan, di sektor pertambangan, 89 persen dikuasai asing. Demikian juga
sektor migas, asing menguasai 64 persen.
Bagaimana di perkebunan dan kelautan? Perkebunan, saat ini
setidaknya 68 persen juga dikuasai modal asing. Adapun kelautan dan perikanan,
operasi pencurian ikan dan kekayaan laut oleh kapal-kapal asing di wilayah laut
Indonesia, telah merugikan negara triliun rupiah setiap tahun. Tanpa usaha
untuk penegakkan hukum yang tegas.
Singkatnya, kedaulatan rakyat atas kekayaan dan sumber daya
alam belum terwujud. Kehendak merdeka 100 persen di bidang ekonomi dan politik,
sebagaimana digelorakan salah seorang Bapak Republik, Tan Malaka, masih jauh
tercipta. Neokolonialisme dan imperealisme masih menggerogoti penguasaan dan
pengelolaan SDA negeri. Modal asing masih berjaya dan dianggap raja. Di sisi
lain, akses dan kontrol rakyat atas SDA semakin lemah dan tak terlindungi
negara.
Data diatas menunjukkan beberapa perusahaan besar asing yang
menguasai lahan tambang di Indonesia. Dapat dilihat bahwa berdasarkan catatan
BPK, kepemilikan perusahaan tambang oleh asing lebih dominan dibandingkan
dengan kepemilikan perusahaan tambang domestik. Pemerintah Indonesia membuka
peluang yang cukup besar kepada pemilik modal asing untuk menguasai sumber daya
alam secara berlebih. Dampaknya, masyarakat tidak mampu mengelola kekayaan alam
karena keterbatasan modal dan pengetahuan menjadi tergilas. Untuk melindungi
kepentingan para investor asing, maka pemerintah melibatkan aparat yang
terlatih dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Pola pembangunan pertambangan
yang dikelola oleh pihak swasta sagat berorientasi pada keuntungan sehingga
kepentingan masyarakat terabaikan.
Selain penguasaan tambang dan mineral, sumber
daya air minum juga banyak dikuasai oleh asing. Pemerintah menyediakan air
bersih bagi masyarakat melalui perusahaan daerah yaitu PDAM. Namun di sisi
lain, pemerintah juga membiarkan pihak asing memiliki penguasaan pada sumber
daya air untuk dikomersialisasikan menjadi air minum kemasan. Padahal
pemerintah sendiri seharusnya mampu menyediakan air minum kemasan untuk
dikomersialisasikan. Tentu saja harganya akan semakin murah dan semakin
terjangkau karena tidak perlu menyerahkan kepada tangan-tangan asing yang
membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi sehingga harga air minum
menjadi lebih mahal. Padahal air juga termasuk sumber daya alam yang menyangkut
hajat hidup orang banyak yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, sudah
seharusnya penguasaan sumber daya air sepenuhnya berada di tangan pemerintah.
Upaya Menjalankan Pasal 33 Agar Sesuai dengan
Amanat Konstitusi
Pemerintah sudah seharusnya melakukan segala upaya untuk mengembalikan sektor
yang menyangkut hajat hidup orang banyak ke tangan negara dari pihak asing.
Nasionalisasi aset harus dilaksanakan secara menyeluruh, ke seluruh sektor
pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan
malah memperpanjang kontrak hingga berpuluh-puluh tahun seperti apa yang
dilakukan oleh PT Freeport. Dalam mengelola kekayaan alam yang paling berhak
adalah rakyat Indonesia. Wujudnya bisa diwakili oleh negara ataupun kumpulan
individu yang berasal dari warga sekitar. Inisiatif untuk melakukan
nasionalisasi aset negara bisa dimulai oleh rakyat yang terkena dampak langsung
dari pembangunan pertambangan. Pembuatan undang-undang pun harus tegas dan
memihak kepada Indonesia, bukan malah memihak dan menguntungkan pihak asing.
Apabila hal ini tidak segera dilakukan, sumber daya alam Indonesia semakin lama
akan tergerus habis dinikmati oleh pihak asing. Sementara Indonesia hanya
menjadi penonton di negeri sendiri melihat pihak asing menikmati hasil bumi
Indonesia. Seharusnya Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri,
mempertahankan kedaulatan dalam penguasaan sumber daya alam yang ada. Mungkin
tidak seratus persen penuh sumber daya alam dikuasai oleh pemerintah, tetapi
setidaknya ada pihak swasta yang berasal dari kepemilikan masyarakat (domestik)
yang diberikan kesempatan mengelola sumber daya alam tersebut. Tentu manfaatnya
akan lebih terasa bagi masyarakat dibandingkan pemerintah menjual aset negara
kepada perusahaan asing. Dengan begitu pemerintah dapat mengembalikan amanat
konstitusi yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 khususnya tentang pengelolaan
sumber daya alam Indonesia. Karena Rakyat tidak pernah merasakan merasakan
hasil pertambangan dari Freeport, Chevron maupun perusahaan swasta asing
lainnya, hanya sebagian kecil kelompok yang menikmatinya termasuk elit politik
setempat dan terutama investor asing itu sendiri. Penduduk setempat belum tentu
menikmati hasil tambang karena mereka tidak memiliki modal ataupun pegetahuan
yang cukup. Jadi, keberadaan mereka di negeri ini menyimpang dari amanat
konstitusi pasal 33 dan UUPA dimana, reformasi agraria menjadi kerangka
pembangunan ekonomi nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Casino Site Review 2021 - Lucky Club
BalasHapusThe casino site reviews are provided by trusted software provider. They will also offer luckyclub.live different games such as slots, table games, slots, roulette Rating: 4 · Review by LuckyClub