Sabtu, 09 April 2016

Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia


Sumber daya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.
Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.
Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana  uraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyak kerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi  selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber Daya Alam tersebut.
Oleh karenanya dengan melihat kondisi di atas Hukum Sumber Daya Alam sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, di mana hal ini sebagai mata kuliah baru di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Widya Gama, yang pada dasarnya merupakan materi kuliah yang mempelajari persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan atau tentang sumber daya alam adalah menjadi hal yang penting untuk dipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan hukum yang muncul dan melingkupi sumber daya alam di Indonesia.

Istilah dan Pengertian

Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Hurup H Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan: “Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang”.  Demikian juga  pada ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, khususnya Pasal 6 yang menyatakan: “Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut,mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini.”
Sedang pengertian Sumber Daya Alam (SDA) sendiri secara yuridis cukup sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian SDA ini dari RUU Pengelolaan SDA yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut: “Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan  makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”
Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-undang Nomor 35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001 Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2001, khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup Butir VIII.2.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan: “Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 adalah: (1)…………….; (2)…………… ; (3) Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkat peraturannya;  (4) ………… dan seterusnya”. Namun demikian penjelasan dan pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35/2000 tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.
Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari Sundari Rangkuti, yang menyatakan:
“Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana pemenuhan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan:
§  Hukum Bencana (Ramperenrecht);
§  Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);
§  Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law);
§   Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;
§   Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht)”

Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum SDA merupakan bagian dari Hukum Lingkungan, menurut Rangkuti Hukum Lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut “hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”. Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan SDA maka Hukum Sumber Daya Alam adalah Hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya dalam hal soal SDA, yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.


B.    Kebijakan sumber daya alam struktur penguasaan sumber daya alam

Keputusan politik berupa TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 yang menggariskan urgensi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebenarnya bukanlah kemajuan baru, meskipun secara substansial rumusan yang tertuang sangat signifikan. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, sebagai produk Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, telah mencatat perubahan yang mendasar dalam merumuskan pijakan pembangunan nasional. GBHN 1999-2004 telah menuangkan Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (lihat Tabel 1). Namun, sejak GBHN tersebut dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional, belum terdapat kebijakan yang secara signifikan mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Apakah dengan begitu, TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 akan mengalami nasib yang sama?
Tabel 1: Arah Kebijakan PSDA di GBHN 1999 – 2004 dan TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001
Arah Kebijakan Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 – 2004
Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam :
1.      Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
2.      Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.
3.      Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
4.      Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang
4. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
5.      Menyalahgunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang - undang.
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

6. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

Penyatuan Tema Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Terdapat penyatuan dua tema; yakni “pembaruan agraria” dan “pengelolaan SDA”, yang dibingkai dalam TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001. Hal ini mendapat respon positif dari berbagai pihak khususnya yang memiliki gagasan agar pengelolaan sumber daya alam dan agraria dilakukan secara holistik, meskipun ada yang meragukan penyatuan tersebut akan dilakukan setengah hati dimana tidak ada integrasi konseptual yang memadai diantara dua tema tersebut. Respon positif diberikan dengan alasan (a) salah satu sebab terjadinya ‘pemisahan’ ini justru bersumber dari watak sektoralisme hukum dan departemenisme kekuasaan negara atas tanah dan SDA. Hal tersebut telah menyesatkan publik mengenai kata “agraria” itu menjadi urusan administrasi pertanahan dan menempatkan persoalan pengelolaan SDA pada “ruang lain”, (b) disamping itu, tidak hanya karena secara substansial keduanya mempunyai kesamaan, juga untuk meletakkan landasan pembaruan penyelesaian masalah secara fundamental dalam bidang agraria dan pengelolaan SDA baik dalam penguasaan maupun pengelolaan, dan (c) untuk memberikan acuan komprehensif dari berbagai sektor yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan SDA dalam melakukan pembaruan seperti masalah sistem penguasaan yang didalamnya termasuk pemilikan, sewa-menyewa, bagi hasil dan sistem pengelolaan yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, perlindungan, konservasi, dan pemantauan. Aspek pembaruan yang mencakup keseluruhan kawasan hutan, pertanian, perkebunan, pesisir laut, pertambangan, dll. C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 3 Secara substansial, dalam pandangan Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah organisasi non pemerintah yang aktif dalam inisiasi TAP MPR tersebut, bahwa istilah “agraria” dengan “pengelolaan SDA” sebenarnya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam prakteknya, penekanan istilah agraria memang seringkali lebih menukik pada penguasaan dan pemanfaatan tanah atau tanah yang menjadi wadah dari keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA adalah pola pemanfaatan SDA yang terkandung (terwadahi) dalam tanah tersebut. Dengan demikian, tidaklah mungkin melakukan pembaruan pengelolaan SDA untuk mencapai kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan apabila pembaruan agraria tidak dilakukan. 2. Perubahan Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam pengelolaan SDA selama ini, dinilai telah terjadi kesalahan dalam meletakkan paradigma pembangunan. Pengelolaan SDA seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan SDA lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi SDA sebagai sumber devisa namun tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan. Titik berat ini telah menimbulkan dampak (a) tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan (b) kerusakan SDA dan lingkungan hidup makin parah. Secara kritis dapat dijelaskan bahwa konsepsi pengelolaan SDA meletakkan pada paradigma yang berbasis negara. Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Hal ini dicirikan dengan bentuk institusi dan kebijakannya yang sentralistik, pendekatan atas-bawah, orientasi target ekonomi, perencanaan makro dan penganggaran ketat. Kondisi ini rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mandapat keuntungan atas pengelolaan SDA ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas. Selanjutnya, jika kembali ke mandat pasal 33 ayat (3), maka pertanyaan yang harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara primer dengan pengelolaan SDA. Masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional. Kerusakan SDA bukan karena ketidaktahuan masyarakat setempat, melainkan karena kebijakan dan keputusan pengelolaan SDA lebih banyak dibicarakan dan ditetapkan di luar lingkungan masyarakat setempat. Masalah utama yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan, adalah mereka menghuni hutan yang merupakan sumber daya yang sangat diinginkan oleh kelompok yang lebih berkuasa dibandingkan mereka. Pada titik inilah, perubahan paradigma pengelolaan SDA sangat signifikan dilakukan sebagai penterjemahan pasal 33 ayat (3). 3. Reformasi Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Meskipun telah diluncurkan TAP MPR yang mengatur pengelolaan SDA, namun implementasi dari TAP MPR tersebut dalam kerangka kebijakan yang implementatif akan sangat tergantung pada ada tidaknya kemauan politik pemerintah. Apalagi jika TAP MPR tersebut, sekedar sebagai “instrumen politik” untuk memuaskan publik dan mengkesampingkan penataan hukum (kebijakan) dan kelembagaan dalam pengelolaan SDA. Kesungguhan pemerintah dan politisi yang mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan sangat diharapkan oleh publik dalam penataan keagrariaan dan pengelolaan SDA dengan melakukan perubahan yang signifikan berbagai ketentuan perundangan sektoral yang selama ini memberi legitimasi bagi eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam. Meskipun, implikasi dari pembaruan tersebut justru akan membatasi kekuasaan pihak tersebut dalam pengelolaan SDA yang selama ini dapat memberi pemasukan bagi biaya-biaya politik. Serta, akan semakin C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 4 memperluas partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan pembaruan keagrariaan dan pengelolaan SDA. Demikian halnya dengan penataan sistem pengendalian lingkungan hidup, jika akan berakibat memojokkan berbagai kalangan industri, termasuk perusahaan multinasional, yang selama ini banyak menggunakan teknologi negara industri maupun sebagai pemasok kebutuhan bahan baku atau konsumsi masyarakat negara-negara industri maju. Komitmen politik pemerintah dan politisi akan mendapatkan ujian dan penilaian dari publik pada permasalahan ini. Menurut Kelompok Kerja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan PSDA ada beberapa agenda penting yang harus dilaksanakan oleh MPR agar ketetapan yang dilahirkan tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat antara lain : a. adanya penyelesaian konflik dalam masyarakat melalui inventarisasi konflik sumber daya alam yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang, pembentukan sebuah badan nasional yang bertugas khusus memfasilitasi proses penyelesaian konflik, serta pembentukan badan pengadilan ad hoc yang menerima dan melanjutkan kerja badan nasional dengan mengeluarkan putusan-putusan berkekuatan hukum agar pihak yang bersengketa mematuhinya; b.adanya penataan struktur penguasaan sumber daya agraria dan sumber daya alam, pemulihan ekosistem yang telah rusak, pembaruan peraturan perundang-undangan dengan meninjau ulang peraturan perundang-undangan sektoral dan daerah yang berkaitan dengan sumber daya agraria/sumber daya alam, membangun kembali payung perundangan sebagai pegangan semua peraturan sektoral dan daerah; c.mengupayakan tercapaianya integrasi dan sinkronisasi kebijakan antar sektor, serta mengusahakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam melalui perencanaan anggaran negara. Bagi kalangan yang menghendaki amandemen Pasal 33 UUD 1945, akan menunggu kerja DPR dan pemerintah dalam menterjemahkan TAP MPR dalam kebijakan yang lebih operasional, seperti UU. Jika dua institusi tersebut lambat meresponnya, maka dalam Sidang Tahunan MPR 2002, tuntutan terhadap amandemen pasal 33 UUD 1945 akan muncul lagi. Khususnya yang berkaitan dengan substansi hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, bagi generasi sekarang dan mendatang, yang berarti harus terdapat undang-undang yang menjamin atas hak tersebut. Desakan amandemen pasal 33 UUD 1945 dialamatkan untuk menambah pasal-pasal yang dapat menterjemahkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis dalam pengelolaan sumber daya alam. Termasuk juga substansi yang mengatur kelembagaan dan mekanisme penyelenggaraan negara yang mendukung tuntutan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan kelembagaan yang menjamin partisipasi luas para pihak. Disamping agenda penting yang harus diselesaikan sebagai implikasi dari TAP MPR, adalah mengkaji ulang perundangan-undangan bidang sumber daya alam yang bersifat sektoral seperti UU pertambangan, UU kehutanan, dan lain-lain. Berpijak atas hal ini, perlu ada payung kebijakan pengelolaan sumber daya alam secara utuh menyeluruh dan komprehensif, sebagai bagian dari reformasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Langkah berikutnya, reformasi kebijakan harus diikuti dengan reformasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini karena persoalan keberadaan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam akan sangat mempengaruhi efektifitas pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan arah reformasi kebijakan itu sendiri. Tentunya hal ini sangat berkaitan dengan reformasi atas berbagai departemen sektoral yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Perikanan dan Kelautan. Beberapa desakan yang mengemuka adalah perlu terdapat kaji ulang atau peninjauan kembali sentralisasi dan sektoralisasi pengelolaan sumber C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 5 daya alam yang selama ini mengakibatkan pengelolaan tidak terintegrasi sehingga memperparah degradasi lingkungan hidup. 4. Parameter Kebijakan PSDA bagi Pembangunan Berkelanjutan Reformasi pengelolaan sumber daya alam sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dapat dinilai dengan baik apabila terumuskan parameter yang memadai. Secara implementatif, parameter yang dapat dirumuskan diantaranya: a. Desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan mengikuti prinsip dan pendekatan ekosistem, bukan administratif. b. Kontrol sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi proses pengambilan keputusan dan peran serta masyarakat . Kontrol sosial ini dapat dimaknai pula sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai hak) rakyat. Setiap orang secara sendiri-sendiri maupun berkelompok memiliki hak yang sama dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi pada pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. c. Pendekatan utuh menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada parameter ini, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus menghilangkan pendekatan sektoral, namun berbasis ekosistem dan memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan antara faktor-faktor pembentuk ekosistem dan antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. d. Keseimbangan antara eksploitasi dengan konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga tetap terjaga kelestarian dan kualitasnya secara baik. e. Rasa keadilan bagi rakyat dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Keadilan ini tidak semata bagi generasi sekarang semata, tetapi juga keadilan untuk generasi mendatang sesudah kita yang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik. Parameter di atas, jika dapat diterapkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidupo merupakan pendorong terwujudnya penyelenggaraan kepemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang baik (good environmental governance); dimana sumber daya alam dikelola, diatur dan diawasi oleh institusi-institusi negara yang diakui legitimasinya oleh rakyat, kompeten, secara terbuka, demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Lima parameter di atas tersebut, pernah dipakai WALHI sebagai instrumen untuk menilai agenda program lingkungan partai politik peserta Pemilu 1999, yang ketika itu penulis terlibat didalam penelitian tersebut. Salah satu kesimpulan yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah bahwa keadilan bagi rakyat merupakan agenda yang mendapatkan tingkat prioritas utama yang harus segera dilakukan. Tingkat prioritas berikutnya secara berurutan adalah kontrol sosial masyarakat, keseimbangan eksploitasi dan konservasi; utuh menyeluruh atau komprehensif dan desentralisasi. Hasil tersebut dapat menggambarkan tahap-tahap yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu dalam pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun demikian, lima parameter tersebut tetap sama pentingnya bagi penyelenggaraan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. 5. Menggalang Komitmen Berbagai Pihak Komitmen politik dari berbagai pihak untuk menterjemahkan TAP MPR dalam kebijakan yang lebih operasional adalah aspek penting untuk melihat apakah TAP MPR tersebut sebatas instrumen kebijakan pemuas bagi publik dan ibarat macan ompong. Pada bagian depan penulis C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 6 telah sampaikan tentang respon yang harus segeras dilakukan oleh pemerintah dan legislatif. Selain itu, partai politik sebagai institusi yang juga punya kewajiban mengartikulasikan aspirasi rakyat dituntut pula responsif. Saat yang tepat sekarang ini adalah publik menagih janji agenda-agenda yang dulu ditawarkan menjelang pemilu 1999. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, sebagaimana penelitian WALHI, menempatkan prioritas utama kerja dalam program peningkatan kualitas demokrasi maupun pemulihan ekonomi Indonesia. Salah satu langkah kerja untuk mencapai tujuan strategis ini, adalah membentuk pemerintahan yang kredibel, bersih dan berkualitas dimana dalam menentukan personalia kabinet diantara berbagai kriteria, PDIP menempatkan syarat dimilikinya komitmen perjuangan menegakkan demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup sebagai kriteria utama. Dengan demikian, indikator komitmen pada lingkungan hidup diangkat oleh PDIP sebagai prinsip dalam menyusun personalia pemerintahan sebagai amanat pelaksanaan program partai. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) termasuk partai politik yang dalam agenda yang ditawarkan ke publik cukup merespon isu-isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. PKB dalam platformnya, melihat bahwa komprehensifitas pengelolaan kekayaan alam dengan mempertautkan antara upaya pemberdayaan masyarakat dengan usaha konservasi lingkungan adalah suatu keniscayaan. Bahwa partisipasi rakyat lebih bermakna sebagai sesuatu yang berproses menjadi upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Partai Amanat Nasional (PAN), ketika itu, dalam agendanya memiliki keberanian untuk mengagendakan program-program perjuangan dalam melestarikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam kerangka waktu yang ketat. Disebutkan bahwa dalam 100 hari pertama penyelenggaraan pemerintahan, PAN akan berjuang untuk mendorong terbentuknya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yang cukup kuat dan disegani, melalui kewenangan yang cukup, struktur yang baik, personil yang dapat diandalkan, budaya kerja dengan komitmen tinggi, terbuka, jujur serta dibekali anggaran yang memadai. Masih banyak lagi agenda-agenda program bidang lingkungan hidup yang ketika itu ditawarkan oleh partai politik ke publik menjelang Pemilu 19999. Ketika kader-kader terbaik dari partai politik telah menduduki jabatan strategis di lembaga legislatif dan eksekutif maka saatnya untuk merealisasikan agenda-agenda yang dulu ditawarkan tersebut. Tanpa adanya komitmen dari elit partai politik, maka good environmental governance tidak akan terwujud di Indonesia. Kalangan yang selama ini kerap mendorong advokasi reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah organisasi non pemerintah, yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan hidup dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Inisiasi para pihak ini, diantaranya dapat dilihat dari sejarah dirumuskannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001, semakin gencar dilakukan ketika Soeharto turun dan kekuatan masyarakat sipil menemukan ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Juga dukungan dari kalangan akademisi, baik yang langsung terlibat dalam organisasi non pemerintah maupun institusi pendidikan (perguruan tinggi). Pihak lain yang memiliki peran signifikan dalam eksploitasi SDA dan berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan hidup adalah kalangan swasta (pengusaha/investor). Investasi yang mereka tanamkan untuk eksploitasi SDA memang memberikan pemasukan devisa bagi negara, namun yang harus diperhatikan bahwa investasi tersebut (a) harus memperhitungkan biaya kerusakan lingkungan dan upaya rehabilitasinya, (b) memberikan rasa keadilan bagi generasi mendatang. Ketika reformasi bergulir, semakin marak protes rakyat dan kelompok yang memiliki kepedulian pada msalah pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, dan oleh pemerintah dan legislatif direspon dengan baik. Namun ternyata oleh kalangan pengusaha ditanggapi kontraproduktif. Lebih responsifnya pemerintah dan legislatif pada masalah SDA dan lingkungan hidup dan tuntutan dari rakyat yang menghendaki keadilan dalam pemanfaatan SDA, dinilai pengusaha C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf Halaman 7 (baik yang bergerak di perusahaan multinasional, maupun nasional dan lokal) sebagai isyarat makin meningkatnya resiko investasi asing di Indonesia, sehingga isu yang berkembang adalah pertentangan antara investasi dengan lingkungan hidup. Banyak ditemukan konflik yang terjadi dalam pemanfaatan kekayaan alam di Indonesia, yang meliputi beragam tipologinya seperti (a) konflik antara pemerintah (melalui kebijakan yang dikeluarkan dan aparatnya) dengan masyarakat, (b) konflik antara pemerintah dengan kalangan pengusaha, (c) konflik antar kelompok masyarakat. Bahkan seiring dengan otonomi daerah, wilayah konflik juga semakin melebar, seperti (a) konflik antar daerah dengan daerah, (b) konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, (c) konflik antar masyarakat pada daerah tertentu dengan masyarakat pada daerah lain. 6. Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat Secara mendasar, kerangka kerja kebijakan pengelolaan SDA diletakkan sebagai instrumen untuk menterjemahkan mandat UUD 1945 pasal 33. Pada ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, bahwa dasar demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Dengan demikian, mandat pasal 33 melarang adanya penguasaan SDA di tangan orang-seorang. Monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam pengelolaan SDA adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. Tentang siapa yang disebut rakyat, tidaklah signifikan untuk diperdebatkan seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh pihak yang secara sinis memandang konsep perekonomian rakyat. Rakyat adalah konsepsi politik; the common people; rakyat adalah orang banyak. Bukan orangseorang, tetapi kepentingan publik atau kolektif secara luas. Dengan begitu, kepentingan seorang konglomerat misalnya, orang akan paham hal tersebut sebagai kepentingan rakyat atau bukan.


C.     Dominasi SDA di Indonesia
Persoalan kedaulatan atas SDA ini perlu diajukan, karena sejumlah pertimbangan mendesak. Pertama, penguasaan asing atas SDA terutama sektor tambang, migas dan perkebunan skala besar, semakin masif. Data menunjukan, di sektor pertambangan, 89 persen dikuasai asing. Demikian juga sektor migas, asing menguasai 64 persen.
Bagaimana di perkebunan dan kelautan? Perkebunan, saat ini setidaknya 68 persen juga dikuasai modal asing. Adapun kelautan dan perikanan, operasi pencurian ikan dan kekayaan laut oleh kapal-kapal asing di wilayah laut Indonesia, telah merugikan negara triliun rupiah setiap tahun. Tanpa usaha untuk penegakkan hukum yang tegas.
Singkatnya, kedaulatan rakyat atas kekayaan dan sumber daya alam belum terwujud. Kehendak merdeka 100 persen di bidang ekonomi dan politik, sebagaimana digelorakan salah seorang Bapak Republik, Tan Malaka, masih jauh tercipta. Neokolonialisme dan imperealisme masih menggerogoti penguasaan dan pengelolaan SDA negeri. Modal asing masih berjaya dan dianggap raja. Di sisi lain, akses dan kontrol rakyat atas SDA semakin lemah dan tak terlindungi negara.
Data diatas menunjukkan beberapa perusahaan besar asing yang menguasai lahan tambang di Indonesia. Dapat dilihat bahwa berdasarkan catatan BPK, kepemilikan perusahaan tambang oleh asing lebih dominan dibandingkan dengan kepemilikan perusahaan tambang domestik. Pemerintah Indonesia membuka peluang yang cukup besar kepada pemilik modal asing untuk menguasai sumber daya alam secara berlebih. Dampaknya, masyarakat tidak mampu mengelola kekayaan alam karena keterbatasan modal dan pengetahuan menjadi tergilas. Untuk melindungi kepentingan para investor asing, maka pemerintah melibatkan aparat yang terlatih dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Pola pembangunan pertambangan yang dikelola oleh pihak swasta sagat berorientasi pada keuntungan sehingga kepentingan masyarakat terabaikan.
Selain penguasaan tambang dan mineral, sumber daya air minum juga banyak dikuasai oleh asing. Pemerintah menyediakan air bersih bagi masyarakat melalui perusahaan daerah yaitu PDAM. Namun di sisi lain, pemerintah juga membiarkan pihak asing memiliki penguasaan pada sumber daya air untuk dikomersialisasikan menjadi air minum kemasan. Padahal pemerintah sendiri seharusnya mampu menyediakan air minum kemasan untuk dikomersialisasikan. Tentu saja harganya akan semakin murah dan semakin terjangkau karena tidak perlu menyerahkan kepada tangan-tangan asing yang membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi sehingga harga air minum menjadi lebih mahal. Padahal air juga termasuk sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, sudah seharusnya penguasaan sumber daya air sepenuhnya berada di tangan pemerintah.

Upaya Menjalankan Pasal 33 Agar Sesuai dengan Amanat Konstitusi
            Pemerintah sudah seharusnya melakukan segala upaya untuk mengembalikan sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak ke tangan negara dari pihak asing. Nasionalisasi aset harus dilaksanakan secara menyeluruh, ke seluruh sektor pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan malah memperpanjang kontrak hingga berpuluh-puluh tahun seperti apa yang dilakukan oleh PT Freeport. Dalam mengelola kekayaan alam yang paling berhak adalah rakyat Indonesia. Wujudnya bisa diwakili oleh negara ataupun kumpulan individu yang berasal dari warga sekitar. Inisiatif untuk melakukan nasionalisasi aset negara bisa dimulai oleh rakyat yang terkena dampak langsung dari pembangunan pertambangan. Pembuatan undang-undang pun harus tegas dan memihak kepada Indonesia, bukan malah memihak dan menguntungkan pihak asing.

            Apabila hal ini tidak segera dilakukan, sumber daya alam Indonesia semakin lama akan tergerus habis dinikmati oleh pihak asing. Sementara Indonesia hanya menjadi penonton di negeri sendiri melihat pihak asing menikmati hasil bumi Indonesia. Seharusnya Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, mempertahankan kedaulatan dalam penguasaan sumber daya alam yang ada. Mungkin tidak seratus persen penuh sumber daya alam dikuasai oleh pemerintah, tetapi setidaknya ada pihak swasta yang berasal dari kepemilikan masyarakat (domestik) yang diberikan kesempatan mengelola sumber daya alam tersebut. Tentu manfaatnya akan lebih terasa bagi masyarakat dibandingkan pemerintah menjual aset negara kepada perusahaan asing. Dengan begitu pemerintah dapat mengembalikan amanat konstitusi yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 khususnya tentang pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Karena Rakyat tidak pernah merasakan merasakan hasil pertambangan dari Freeport, Chevron maupun perusahaan swasta asing lainnya, hanya sebagian kecil kelompok yang menikmatinya termasuk elit politik setempat dan terutama investor asing itu sendiri. Penduduk setempat belum tentu menikmati hasil tambang karena mereka tidak memiliki modal ataupun pegetahuan yang cukup. Jadi, keberadaan mereka di negeri ini menyimpang dari amanat konstitusi pasal 33 dan UUPA dimana, reformasi agraria menjadi kerangka pembangunan ekonomi nasional.
























DAFTAR PUSTAKA






1 komentar:

  1. Casino Site Review 2021 - Lucky Club
    The casino site reviews are provided by trusted software provider. They will also offer luckyclub.live different games such as slots, table games, slots, roulette  Rating: 4 · ‎Review by LuckyClub

    BalasHapus